Folklor
Kangean: Suatu Kajian Cerita Bajak Laut (Lanun) Sebagai Sumber Sejarah Kawasan
Pulau Kangean secara administratif termasuk Kabupaten Sumenep,Madura.
Kabupaten Sumenep terbagi menjadi dua wilayah, yaitu daratan(dereden)
dan kepulauan (polo). Pembagian wilayah ini berhubungankonstruksi orang
dari kedua wilayah itu, yaitu orang daratan (oreng dereden)
dan orang pulau (oreng polo). Konstruksi
menentukan hubungan antarkedua wilayah tersebut. Orang daratan memandang lebih
tinggi dari orang kepulauan, sedangkan orang kepulauan menyebut orang daratan
dengan orang negara yang dijadikan acuan dalam bertingkah laku (oreng
nagera).
Cara pandang orang itu berhubungan dengan interaksi
antara pusat kekuasaan dengan bagian wilayah kekuasaan. Pusat kekuasaan sejak
Sumenep di bawah Singasari sampai saat ini berada di Sumenep daratan (Bustami
1990: 66-77; 1997:323-330). Pada masa kasultanan Sumenep
dan kolonial, Pulau Kangean dijadikan sebagai tempat
pembuangan lawan- lawan politik penguasa lokal dan kolonial serta narapidana
(Farjon l980: 21-22; Arsip Nasional 1978:CLXX, 247). Pulau Kangean merupakan
Australianya Madura .
Penduduk Pulau Kangean berjumlah 78.468 jiwa, dengan
kepadatan penduduk sebesar 173,11 orang per km, angka ketergantungan 93,66 %,
dan jumlah rumah tangga sejumlah 22.300 buah. Orang Kangean seluruhnya beragama
Islam (Sumenep dalam Angka 1999: 15-17; 73). Ajaran Islam diinterpretasi dan
diaktualisasikan dalam kerangka kebudayaan Kangean sehingga terjadi variasi.
Secara kultural, Pulau Kangean memiliki kebudayaan sendiri yang berbeda dengan
kebudayaan Madura (Bustami 2001:7-9).
Perbedaan itu nampak pada bahasa, asal usul, dan
identitas sosial. Bahasa Kangean mempunyai tingkatan bahasa ako-kao,
nira-nae, dan kaule-panjennengan. Konstruksi ako-kao, eson-sede,
esonkakeh merupakan komunikasi yang dipergunakan oleh seseorang
yang sederajat dan teman akrab.
Konstruksi nira-nae, die-dika digunakan oleh mertua kepada menantu
dengan tujuan penghormatan sedangkan kaulepanjennengngan ditujukan
kepada seseorang yang lebih tua, tidak sederajat sebagai penghormatan.
Konstruksi yang terkahir ini disebut besa alos (bahasa tenggi) dan
didominasi oleh bahasa Madura (Bustami 2003: 73- 74).
Asal-usul orang Kangean merupakan campuran orang-orang
yang berasal dari Madura, Sapudi (Podey) -Raas, Eropa, Cina, Arab,
Banjar, Melayu, Bawean, Jawa, Bali, Bugis-Makassar, Mandar, Mangindanao, dan
Sulu. Kedatangan orang Madura, Sapudi-Raas di Pulau Kangean berhubungan dengan
faktor pekerjaan, perdagangan, dan perkawinan. Orang Eropa berhubungan
dengan pemantapan kolonialisme dan penyebaran agama Kristen Protestan. Di Pulau
Kangean terdapat kampong Pandita Bustami, Folklor Kangean 269 lengkap
dengan bangunan berarsitektur Eropa sebagai bukti adanya kegiatan misi Kristen.
Kedatangan orang Cina berhubungan dengan faktor pelarian politik dari Batavia
yang terjadi pada akhir abad ke-19 (Bustami 2001:8; 2003:74). Keturunan orang
Cina yang berjenis kelamin laki-laki disebut encek dan yang perempuan (ennya
), sedangkan yang keturunan Arab yang laki-laki disebut iyye dan
perempuan (saripah). Orang Jawa didatangkan oleh Belanda di Kangean pada
abad ke-19 untuk menanam kayu jati sehingga wilayah pemukiman mereka
disebut kampong Jebe, yang tersebar di Kampong Ramo Salengka , Desa Sabesomor,
dan Desa Torjek. Orang Bali tersebar di pantai selatan Kangean karena
perdagangan dan perluasan kekuasaan politik. Orang Bugis-Makassar, Mandar,
Mangindanao, dan Sulu tersebar di pantai utara Pulau Kangean. Konstruksi
bangunan rumah, kosa kata, cara menyapa dan cara menyebut dalam
kekerabatan, dan upacara-upacara menguatkan asal-usul orang Kangean yang
majemuk.
Orang-orang Pulau Kangean memiliki ceritera tentang
terjadinya pemukiman di atas bukit (dera ) dan pesisir (paseser)
dihubungkan dengan lanun (bajak laut). Pemukiman di atas bukit muncul
untuk menghindari serangan bajak laut, sedangkan di pesisir merupakan pemukiman
para bajak laut. Pada perkembangan selanjutnya mulai terbentuk pemukiman di
antara kedua wilayah itu, yaitu lembah (lembe). Saat ini di ketiga
wilayah pemukiman itu terjadi akulturasi kebudayaan dan belum membentuk
masyarakat multikultural.
FOLKLOR LANUN
SEBAGAI SUMBER SEJARAH KAWASAN
Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif,
yang tersebar dan diwariskan turun temurun, di antara kolektif macam apa saja,
secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun
contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (memonic
device) (Danandjaja. 2002:2). Brunvand mengklasifikasikan floklor menjadi
tiga bentuk, yaitu lisan, setengah lisan atau sebagian lisan, dan bukan lisan
(Danandjaja 2002: 21-207). Mengacu pada pembagian folklor itu, maka folkor
Kangean tentang cerita lanun termasuk folklor lisan dan folklor sebagian
lisan. Folklor lisan karena pewarisannya dilakukan secara lisan, sedangkan
folklor sebagian lisan karena proses pewarisan secara lisan itu dan
sebagian diwujudkan dalam bentuk makanan (jejen lanun). Jejen lanun itu
merepresentasikan strategi simbolis orang Kangean untuk melawan lanun (Bustami
2002).
Salah satu bentuk foklor lisan adalah cerita prosa
rakyat. Bascom memfokuskan bentuk cerita prosa itu pada mite, legenda, dan
dongeng (Danandjaja 2002:50). Cerita lanun orang Kangean tidak termasuk
ketiga bagian itu karena cerita itu tidak berhubungan dengan sesuatu yang
dianggap suci, cerita itu terjadi, dan bukan dongeng. Menurut saya, fenomena
bajak laut (lanun) merupakan cerita orang Kangean sebagai respon
terhadap kehidupan sosial budaya mereka. Informasi tentang aktifitas lanun di
Pulau Kangean bukan hanya dinyatakan dalam cerita lisan atau sebagian lisan
melainkan juga dibuktikan dari catatan pelaut dan musafir asing (Cortesao 1944;
Lapian 1987; 1999: 89-92; Lombard 1996, Jilid 2: 77 ) serta arsip-arsip
kolonial Belanda (Koloniaal Verslag 1850: 18; Hoëvell 1851: 158-165;
Hageman 1858: 321-352; Waal 1879:17-108; Meyier 1905:1-90; Roon 1917:264-273;
Graaf 1940: 56-58).Farjon keliru mencantumkan nomor halaman karya Hageman Bijdragen
tot de kennies van de residentie Madoera , TNI 20 (l858) Volume I, halaman
320-353 (Farjon 1980: 5) seharusnya halaman yang dimaksud adalah 321-352
(Hageman 1858: Vol.I:321-352). Cerita lanun itu berada dalam wilayah
profan. Dengan sendirinya pembagian cerita prosa rakyat pada mite, legenda, dan
dongeng perlu dikoreksi dan ditambah dengan cerita rakyat (Bustami 2002).
Cerita lanun itu menjelaskan tentang sejarah
pemukiman penduduk, dan relasi kekuasaan dengan kekuatan politik, ekonomi, dan
kebudayaan orang Kangean dengan masyarakat dari berbagai kawasan dan tergabung
dalam sistem dunia. Di sisi lain berbagai kekuatan itu menjelaskan terjadinya
proses integrasi di kawasan Kangean. Dengan sendirinya cerita lanun itu
bisa dijadikan sebagai salah satu sumber sejarah kawasan. Sejarah kawasan
dipakai untuk menggantikan istilah sejarah lokal yang menurut saya a historis.
Sejarah lokal yang disusun oleh Abdullah, dkk (l984), pada awalnya diposisikan
sebagai antagonis dan resistensi terhadap sejarah
nasional yang disusun oleh Poesponegoro, dkk (1977;
1984). Sejarah nasional pada dasarnya sejarah kawasan yang diinterpretasi dan
dikonstruksi sebagai nasional oleh para penyusunnya. Boleh jadi, istilah lokal
digunakan untuk menyederhanakan konsep yang berbeda dengan nasional.
Secara historis, kelokalan sejatinya merujuk pada konsep nasional bahkan
global. Studi-studi antropologis membuktikan bahwa proses globalisasi
berlangsung sejak masa lalu di mana setiap masyarakat di muka bumi ini
merupakan suatu masyarakat global (Sahlins 1994: 387). Sejarah lokal
mengabaikan adanya interaksi orang yang mendiami suatu wilayah dengan kekuatan
sejarah dari luar wilayah melalui jalur perdagangan, rute pelayaran, kondisi
ekologis kemaritiman, dan kepentingan politik budaya (Lapian 1992; 1999).
Historiografi tentang sejarah kawasan yang diberi label lokal dengan menjadikan
folklor sebagai sumber sejarah dilakukan oleh de Graaf dan Pigeaud (l985).
Sejarah kawasan bisa dinyatakan sebagai sejarah total
(Azra 1999: 65-78) sebagaimana yang telah dilakukan oleh Annales
School, Perancis, Fernand Braudel (1976), Chudury (1988), Lombard (l996),
dan Reid (1992; 1999; 2004). Wallerstein penggagas teori sistem duniapun
dipengaruhi oleh Fernand Braudel (Wallerstein 1974). Pengaruh Braudel di
Indonesia nampak pada Tjiptatmodjo, Lapian, Azra. Tjiptoatmodjo meneliti
sejarah kawasan di Selat Madura pada abad ke-17 sampai dengan abad ke-l9
(Tjiptoatmodjo 1983). Lapian mengembangkan sejarah maritim dan
mengaplikasikannya dengan meneliti Laut Sulawesi ( Lapian 1987) dan Laut Sawu (Lapian:
1992) sebagai saluran integrasi kawasan tersebut bahkan dia berkesimpulan bahwa
nusantara merupakan silang bahari (Lapian 1999: 79-92). Azra (l996) meneliti
tentang jaringan ulama Nusantara dan Timur Tengah.
Sejarah kawasan dapat menyajikan sejarah otonom khas
Indonesia yang tidak terjebak pada pendekatan maritim atau darat bahkan udara
tergantung karakteristik kawasan dan periodesasi yang dipilih. Lapian
terpesona dengan kondisi bahari Indonesia sehingga menggagas pentingnya sejarah
maritim dengan pendekatan unit kelautan sehingga mengabaikan potensi darat.
Lapian terlalu berpikir dikotomis laut dan darat serta menjadi laut sebagai
pusat terjadinya sinergi integrasi ribuan pulau di Indonesia (Lapian 1992).
Pertumbuhan wilayah laut dan darat menjadi satu
kesatuan sebagai interaksi berbagai aspek kehidupan secara timbal balik,
kemudian melebar dan meluas dengan berinteraksi dengan kawasan lainnya dalam
jaringan yang lebih luas menjadi jaringan sistem ekonomi dunia (Wallerstein
1974). Cerita lanun di Kangean menunjukkan adanya perubahan kehidupan di
darat terutama pemukiman di dataran tinggi (kampomg dera ), dan pesisir
(kampong paseser). Sebelum datangnya lanun mereka bermukim di
pesisir dan dengan kehadiran lanun mereka lari ke atas. Pusat
kekuasaan sampai saat ini tetap berada di atas dan sebagian berpindah ke bawah
bahkan mendirikan pusat kekuasaan di antara pusat kekuasaan yang telah ada,
yaitu lembah (kampong lembe).Pusat-pusat kekuasaan itu hadir dengan
segala atribut-atribut sebagai legitimasi kekuasaan.
Di kalangan orang tua selalu menceritakan keberadaan lanun
di wilayah Pulau Kangean. Walaupun begitu, folklor sebagai sumber sejarah
kawasan membutuhkan kritik sumber dan dikomparasikan dengan sumber sumber
sejarah lainnya (Burke 1999). Pulau Kangean menunjukkan adanya interaksi dengan
berbagai kekuatan politik, kebudayaaan, dan ekonomi dengan Madura, Jawa,
Filipina Selatan, Eropa, Asia Barat, Asia Timur, Bugis-Makassar, Mandar, dan
Bajo atau Bajau (Bustami 2002; 2003; Lapian 1987; 1992; 1999). Penyebaran orang
Bajo orang perahu di Asia Tenggara termasuk meliputi seluruh nusantara telah
dikaji oleh Sopher (l965). Di Pulau Kangean terdapat konsentrasi pemukiman
penduduk orang Bajo yang dalam karya itu tidak dicantumkan (Bustami 2001).
Keberadaan mereka di wilayah ini berkaitan
dengan perompakan dan jalur pelayaran. Rute pelayaran
menciptakan jaringan perdagangan atau sebaliknya untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat sehingga terjadi pelayaran antarkampung, antarpulau, antar wilayah
yang lebih luas, dan internasional. Jalur pelayaran antara persekutuan
kampung-kampung itu menciptakan sebuah jaringan komunikasi yang mempersatukan
wilayah perairan bersangkutan (Lapian 1999: 88-89).
Orang Bajo menurut Tome Pires (dekade ke-2 abad ke 16)
yang mengatakan bahwa mereka merompak sampai ke Pegu di sebelah barat dan ke
Maluku,Banda di sebelah timur. Mereka mengunjungi pulau-pulau sekitar Jawa dan
mengelilingi Pulau Sumatera. Barang dagangan dan hasil rampasan dibawa ke Jumaia
(di Pulau Tujuh) tempat mereka memasarkannya (Cortesao 1944). Bisa jadi,
keperkasaan perompak di kawasan Melayu itu mengilhami penulisan karya sastra di
Italia, Eropa pada abad 19, Aux origines du thème du Pirates malais (Lombard
1993), seperti Emilio Salgari (Rivai 1999: 383-412). Karya Salgari yang
bertemakan perompak Melayu dan Bajak laut, yaitu ciclo dei Pirati della
Malesia atau ciclo Indo-Malese (Seri Perompak Melayu) dan ciclo
dei Corsari (seri bajak laut). Kemahiran orang Bajo diteruskan oleh pelaut
Melayu yang kemudian meluaskannya usahanya sampai ke sebelah timur, termasuk
orang
Bugis (Pelras 1996:49; 74-75). Rute pelayaran
menunjukkan hubungan kekuatan yang berganti-ganti dan kemudian orang Bajo
mengikuti orang Bugis sampai ke perairan Australia (Lapian 1999: 90). Lombard
menyatakan bahwa tempat-tempat orang Bajo saat ini berada di lokasi
pangkalanpangkalan lanun abad ke-19 (Lombard 1999, Jilid 2: 77). Lapian
mengajukan sebuah hipotesis yaitu jaringan operasi perompak lanun dari
Filipina Selatan yang menyerang Pulau Kangean dan Bawean serta tempat- tempat
lain itu memanfaatkan jalur pelayaran yang telah di-rintis oleh orang Bajo.
Menurut saya, aktifitas lanun Asia Tenggara berinteraksi dengan jaringan
lanun internasional yang berpusat di Laut Merah (Henry Every), Laut
Karibia (Edward English), Carolina Selatan (Stede Bonnet), dan Kawasan Pantai
Utara Australia (Botting 1978).
MENJADI BAJAK LAUT (LANUN)
Istilah lanun berasal dari bahasa Mangindanao,
yang berarti orang Danau, yaitu Lanao, wilayah yang terletak di tengah
Pulau Mindanao, Filipina Selatan. Mereka adalah seasal dengan sukubangsa
Maranao yang mendiami wilayah sekitar Lanao. Orang Spanyol menyebut Illano atau
Illanun terhadap orang Maranao, Mangindano, Tausug dan Samal (di
KepulauanSulu) sedangkan orang Tausug menyebut semua orang Mangindano, Maranao,
dan Ilanun sebagai Iranun (Lapian 1987:253). Rekonstruksi
historis menunjukkan bahwa orang Mangindano melakukan kegiatan bajak laut dan
menguasai wilayah perairan Riau, Lauat Jawa, Selat Sulawesi
sampai dengan Papua (Wall 1879: 17-108). Khusus,
kebudayaan suku Tausug ada kemiripan dengan Madura dalam hal kekerasan,
penegakan harga diri, dan pertunjukan keperkasaan laki-laki (Wiyata 2000).
Masyarakat yang menjadi sasaran bajak laut Mangindano menyebut kegiatan
bajak laut dengan lanun. Kosa kata lanun menjadi
kosa kata baru di wilayah- wilayah yang menjadi sasaran bajak laut Mangindano.
Pada tahapan berikutnya terjadi rivalitas antara bajak laut Balangingi (nama
pulau dari gugusan Pulau Samales yang merupakan bagian dari Kepulauan Sulu
antara Pulau Jolo dan Basilan), Papua, Tobelo (Halmahera), Johor sehingga di
wilayah kekuasan mereka terdapat kosa kata baru yang masingmasing Balangingi,
Belo, Johoro dari Joho dan lanong (lanun) yang
semuanya mempunyai arti bajak laut (Lapian 1987). Istilah lain dari bajak laut
adalah gorra (perampok), patadi-tadi (tadi -tadi adalah
perahu kecil yang dulu dipakai nodong). Balangingi dalam bahasa Makassar
sekarang dipakai untuk menyebut seseorang yang berperilaku kasar atau kurang
ajar.
Dalam bahasa Sangir dikenal istilah malanginging untuk
menyebut orang Mangindano sebagai bahasa sasahara (tabu menyebut
Mangindano terutama ketika di tengah laut). Dengan sendirinya dalam
perkembangan selanjutnya, terdapat berbagai istilah yang menunjuk pada wilayah
asal dan kegiatan bajak laut, seperti lanun, Balangingi, Belo, dan Johoro.
Lanun sebagai kosa kata masyarakat yang menjadi sasaran bajak laut
khususnya dari Mangindano dan digunakan untuk menyebut bajak laut. Bajak laut
oleh orang Kangean disebut lanun. Artinya, di wilayah ini kegiatan bajak
laut dilakukan oleh orang Mangindano. Munculnya kosakata itu berhubungan dengan
latarbekalang kesejarahan masyarakat setempat dalam hal ini bajak laut. Lapian
belum menjelaskan relasi antara istilah masyarakat setempat untuk menyebut
kegiatan bajak laut dengan asal bajak laut (1987:261-267). Pertalian istilah lanun
dengan orang Mangindanao bisa diamati dengan jelas di Pulau Kangean
(Bustami 2002).
Bajak laut (lanun) sering diidentikkan dengan pirata
(bahasa Spanyol, Portugis, dan Italia), pirate (bahasa Inggris dan
Perancis), piraat atau zeerover (bahasa Belanda), pirat atau
Seerauber (bahasa Jerman). Pengertian pirata berbeda dengan korsario
(bahasa Perancis corsair; Inggris corsair atau privateer;
Spanyol, Portugis dan Italia corsario; Belanda corsair atau kaper.
Seorang korsario melakukan tindakan kekerasan di laut dengan membawa
kewenangan negara (lettre de marque) ketika terjadi peperangan antardua
negara. Perbedaan antara pirata dan korsario sangat tipis karena korsario
bermotif politik sedangkan pirata berada dalam tataran kriminal. Pirata
merupakan fenomena yang terjadi di Laut Tengah jauh sebelum ada korsario
yang dikenal sejak abad ke 15. Ada korsario berwajah pirata dan
ada pirata yang berperangai sebagai korsario (Lapian 1987: 217-218).
Bajak laut mencakup kedua pengertian tersebut. Bajak laut adalah orang yang
melakukan kekerasaan di laut tanpa mendapat wewenang dari pemerintahanya untuk
melakukan tindakan itu Pirata communis hostis omnium (Bajak laut musuh
bersama ummat manusia).
Munculnya bajak laut menurut pemikiran kaum
evolusionis merupakan kelanjutan dari perburuan, tingkat ekonomi yang paling
awal. Perburuan bagi masyarakat bahari berupa penangkapan ikan yang selanjutnya
berkembang pada penangkapan segala sesuatu yang ditemukan di laut
yang luas. Wilayah laut dianggap sebagai tempat berusaha yang bebas, seperti
halnya daerah hutan bagi masyarakat darat yang mengembara di hutan untuk
mengumpulkan makanan. Masing-masing orang atau kelompok yang berusaha merasa
bebas untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Perkembangan peradaban yang lebih
tinggi melihat tindakan pengambilan secara bebas di laut dinyatakan sebagai
perompakan, bajak laut. Konstruksi yang lain adalah evolusi ekonomi, yaitu
tahapan awal dari perdagangan (Lapian 1987). Perdagangan terjadi karena ada
kebutuhan barang yang tidak dipunyai sehingga harus diperoleh dari pihak yang
mempunyainya. Pemenuhan kebutuhan itu dilakukan dengan tukar menukar dan pada
masyarakat yang lebih maju diperoleh dengan jalan jual beli. Ketika pertukaran
berlangsung secara tidak seimbang maka terjadilah perampasan- yang di laut
dilakukan oleh bajak laut dan perang.
Perang dilakukan dengan bajak laut, terlebih ketika
kekuatan angkatan laut dianggap tidak memadai untuk menghadapi musuh. Contoh
dalam kasus ini adalah Perang Kemerdekaan Belanda melawan Spanyol selama 80
tahun lamanya, Belanda bekerja sama dengan kelompok yang dikenal sebagai Watergeuzen
(Bahasa Inggris sea-beggars, Perancis mengenal la guerre de
course (perang korsario) yang telah membantu pemerintah Perancis
dalam pe-rang-perangnya pada abad XVII dan XVIII yang menjadikan pelabuhan St.
Malo sebagai pangkalan kapal korsario. Perang kemerdekaan Amerika Latin pada
abad XIX menggunakan corsarios insurgentes (korasario pemberontak).
Mexico, Kuba, dan Venezuela merupakan operasi bajak laut sekaligus basis
pemberontak dan pejuang kemerdekaan melawan kekuatan koloial Spanyol (Lapian
1987: 222).
Konstruksi yang lain adalah jiwa petualang masyarakat
dalam konteks mencari pemenuhan kebutuhan hidupnya. Berpetualang merupakan etos
masyarakat (bahasa Yunani peirates yang berasal dari bahasa Latin adalah
pinjaman dari peirates dalam bahasa Yunani Kuno yang berarti berusaha,
berpetualang (Lapian 1987: 225). Dalam konteks ini ada institusi balas dendam,
seperti dalam sejarah Yunani Kuno-masa Demosthenes (abad IV SM) sehingga sulit
dibedakan pihak mana yang mulai membajak dan pihak mana yang mengadakan
serangan balasan. Bajak laut, menurut Raffless berkaitan dengan kebiasaan orang
Melayu the prevalence of piracy of the Malayan coast is an evil of ancient
date, and intimately connected with the Malayan habits. The old Malayan
romances, and the fragment of their traditional history constantly refer with
pride to political cruisez an honourable occupation, worthy of being folllowed
by young princes and nobels (Raffless 1817:I:232).
Di samping itu bajak laut berhubungan dengan agama
dengan latar belakang perang salib dan bulan sabit (la Croix et la Croissant)
serta Watergeuzen antara Belanda yang Protestan dan Spanyol yang
Katolik. Rafless mengaitkannya pertarungan antara Nasrani dengan Islam the
state of the eastern populatin and the intolerant spirit of the religion of
Islam have eminently tended to increase the practice Bahkan, the
suppression of piracy has long been a subject to which attention of the Dutch
has been vigorously directed,.. theprepondirance of the English navy on the
shores of all the eastern isles (Raffless 1817: 232-252). Serangan bajak
laut Viking pada abad VIII dari Skandinavia ke arah selatan, ke Pantai Eropa
barat dengan sasaran biara-biara yang tersebar di pantai Inggris, Skotlandia,
dan Irlandia. Motif agama bisa menjelaskan fenomena itu berhubung Viking masih pagan
sedangkan yang diserang adalah bangunan Katolik.
Padahal serangan itu bermotif ekonomi karena biara
sebagai pusat perhimpunan harta kekayaan. Perompakan laut sering terjadi pada
jalur-jalur perdagangan yang ramai tetapi kurang mendapat pengawasan penguasa
setempat sehingga terjadi raiding bersama-sama dengan trading (Held
1957). Bajak laut ditentukan terjadinya kemerosotan berbagai aspek kehidupan
yang disebabkan oleh perubahan konstelasi politik, perdagangan, ekonomi dengan
hadirnya orang Eropa di Asia Tengara sehingga untuk melangsungkan hidupnya
menjadi bajak laut Eropa ada di darat dan bajak laut menjadi penguasa di lautan
(Majul 1973). Rubin menegaskan bahwa istilah bajak laut merupakan konstruksi
barat yang diberikan kepada sekelompok orang yang mengancam kekuasaan mereka
atau melawan penguasa yang legal (Rubin 1970). Penguasaan laut merupakan ajang
pertempuran wacana dan perang-perang di atas laut. Kemerosotan kekuasaan
tradisional dipakai oleh Majul untuk menjelaskan serangan bajak laut yang
dilancarkan oleh raja dan para datuk di Filipina Selatan (Majul 1973). Veth
menyatakan bahwa serangan itu berhubungan dengan faktor agama Islam dalam
perlawanannya terhadap kekuasaan barat (Lapian 1997: 24). Hal yang berbeda
dinyatakan oleh Warren bahwa bajak laut itu berhubungan dengan pesatnya
perdagangan di Asia Tenggara dengan masuknya Inggris menggantikan monopoli VOC
sehingga membutuhkan banyak tenaga kerja.
Bajak laut berusaha untuk mencari tenaga kerja untuk
dijadikan budak (Reid 2004). Lombard mengaitkan dengan adanya konflik antara
dua sistem Barat dan Asia. Bajak laut meningkat sesudah tahun 1815 dan
berlangsung sampai akhir abad ke-19 (yang berkurang kekuatannya sesudah tahun
1860. Para perdagangan muslim di Selat Malaka (Reteh, Kepulauan Lingga), di
Kalimantan (Sambas, Kota Waringin),di Kepulauan Sulu dan Mindanao telah
memanfaatkan resesi Eropa pada awal abad ke-19 dan banyak berkembang; oleh
karena ambisi-ambisi baru dari kekuatan-kekuatan kolonial, mereka terpaksa
melakukan perang di atas laut dan datang merampoki pantai-pantai Jawa sampai
menyerang konvoi-konvoi yang melewati jalan raya Daendels yang berada di dekat
pantai (Lombard 1996: 78).
Lapian melihat bajak laut dari sudut kekerasan yang
melekat pada setiap tindakan perompakan. Kekerasan itu dimonopoli oleh negara.
Jika dijalankan oleh orang lain, maka tindakan itu dilihat sebagai
tindakan kriminal. Konstelasi politik dunia maritim di Asia Tenggara bervariasi
maka harus dijabarkan menjadi tiga tipologi di setiap kawasan, yaitu orang
Laut, bajak laut, dan raja laut (Lapian 1987). Bajak laut adalah sebutan yang
dipakai oleh sebuah pemerintahan yang telah mapan kepada pihak yang melanggar
kedaulatan mereka.
Padahal pada masa itu terjadi persaingan hegemoni
berbagai pihak termasuk penguasa kolonial memperebutkan atau penguasaan
kedaulatan atas suatu kawasan (Lapian 1997:24-35). Data dari Tijdschrift
voor Nederlandsch-Indie (l851) menginformasikan kegagalan Belanda
melindungi penduduk Bawean dari serangan bajak laut (Hoëvell (ed), l851:
1:158-165). Harian Locomotief, 17 Oktober 1904 menyatakan adanya
pergeseran kegiatan bajak laut dari laut Jawa ke Selat Madura dan pelakunya
sebagian besar orang Madura (Meyier 1905:1:90). Aktifitas bajak laut di kawasan
Pulau Kangean dan Selat Madura itu berkaitan dengan perjuangan Trunojoyo.
Trunojoyo bekerja sama dengan bajak laut Makassar untuk melawan hegemoni
Mataram yang didukung oleh Belanda (Graaf 1940: 56-86).
Lanun, Kangean, Dan
Integrasi Kawasan
Informasi tentang bajak laut Asia, yang tertua berasal
dari Fa-Hsien yang dalam perjalanannya pulang dari India ke Cina (413-414)
mengata kan bahwa Laut di Asia Tenggara penuh
dengan bajak laut, barang siapa bertemu dengan mereka akan menemui ajalnya
(Lapian, 1987). Analisis bajak laut di kawasan Indonesia dan Asia Tenggara
khususnya di Laut Sulawesi telah dikaji oleh Lapian (l987: 225-318).
Dalam konteks bajak laut (lanun) Mangindano
dijelaskan bahwa faktor keterlibatan mereka dalam kegiatan bajak laut adalah
Perang Moro. Orang Mangindano sejak abad XVI berkonfrontasi dengan Spanyol
dalam kerangka Perang Moro (Lapian 1987: 258-259). Bajak laut Mangindano
melakukan aksinya dengan memanfaatkan angin timur laut menuju wilayah bagian
barat sehingga di Serawak dikenal the pirate wind atau angin lanun
(Lapian 1987: 270). Keterlibatan Mangindano dalam kegiatan bajak laut
berhubungan dengan tindakan Belanda untuk menguasai perdagangan timah yang
dikuasai orang Bugis, seperti yang dinyatakan dalam Tuhfah al-Nafis pada
bulan Mei 1787. Sejak itu di perairan Riau dan pantaitimur Sumatera dikuasai lanun
yang berpusat di Reteh (antara Muara Sungai Jambi dan Indragiri). Dari
pangkalan ini setiap tahun mereka merompak di perairan sekitarnya (Wall 1879:
30-34). Pada abad XIX, dijelaskan bahwa orang darat yang bersikap defensif
berbalik menjadi pelaut yang agresif seperti orang Tobelo.
Keterlibatan mereka dalam jaringan bajak laut
merupakan balas dendam terhadap serangan bajak laut Magindano dan Balangingi.
Bajak laut Tobelo terlibat dalam serangan ke Bawean dekat Kepulauan Kangean
melalui Manggarai, dalam bulan Oktober 1850. Pada waktu itu 15 perahu bajak
laut berukuran besar mendarat di pantai barat laut pulau itu, ketika sebagian
besar dari penduduk persis sedang berlayar ke luar pulau untuk berdagang. Pada
kesempatan itu bajak laut berhasil menangkap sejumlah besar dari
pendudukbeberapa kampung Bawean yang kemudian dijadikan budak (KoloniaalVerslag
1850:18; Wall 1879: 27-28). Javasche courant (l844) menginformasikan
bajak laut Mangindanao menyerang Pulau Bawean (Roon 1917). Pendapat Anthony
Reid yang menyatakan kehadiran bajak laut dengan perdagangan budak seiring
dengan meningkatnya permintaan tenaga kerja lebih bisa diterima.
Bajak laut yang lain berangkat dari Kepulauan Sulu dan
Mindanao Selatan melalui Selat Makassar dengan menggunakan angin timur laut
sehingga Kerajaan Kalimantan Timur, seperti Berau, Bulungan bekerja
atauterpaksa bekerja sama (Lapian 1987:272). Pangkalan bajak laut yang penting
adalah Toli-Toli, Sulawesi Utara. Di sebelah menyebar selat Makasar bajak laut
mempunyai pangkalan sehingga lalu lintas ini tidak aman bagi pelayaran niaga
pada awaktu itu. Menurut orang setempat, mereka semuanya disebut Mangindano.
Di bagian selatan dari Selat Makasar mereka mendirikan
pangkalan di Pulau Laut (wilayah Kalimantan Selatan) dekat Pulau Kangean.
Menurut Pangeran Said Al Habsyi (1830) orang Lanun di Pulau Laut bekerja
sama dengan pemimpin Bangkalan (Kalimantan Selatan, sic Madura) yang
disebut Haji Jawa, yang berasal dari Kalimantan (sic Madura), dan orang
Bajau serta orang Tobelo dari Halmahera. Pulau Laut digunakan untuk menjelajah
perairan Laut Flores dan Laut Jawa.
Pada tahun 1828 penduduk Pulau Kangean, sekitar 300
orang, diangkut ke Pulau Laut untuk dijual sebagai budak. Said Hassan al Habsyi
pernah bertemu dengan sebuah eskader Lanun di Selat Bali yang berasal
dari pangkalan Pulau Laut itu. Di kawasan Laut Flores pun ada pangkalan di
beberapa pulau kecil, seperti tanah Jampea, Kalao, Bonerate, Puau Riung di
lepas pantai Flores Barat (Manggarai) sebagai pusat perompak Mangindao,
Balangingi, dan Tobelo (Lapian 1987: 274). Pada tahun 1850-1876 diinformasikan
tentang serangan bajak laut dari Sulu dan Manggarai ke Pulau Kangean dan Bawean
(Waal 1879: 28-30). Rekonstruksi kesejarahan menunjukkan posisi Pulau Kangean
yang berada di tengah persimpangan beberapa pangkalan bajak laut (lanun)
maka bisa diterima kalau orang Kangean mempunyai folklor tentang lanun.
Orang Kangean menyebut lanun setiap kali
ditanyakan tentang terjadinya pemukiman penduduk di perbukitan (dera ).
Pola perkampungan di dera dikelilingi pagar hidup, semak belukar dengan
satu pintu besar yang terbuat dari kayu untuk melindungi diri dari serangan lanun.
Keberadaan satu pintu masuk mempunyai fungsi mengawasi aktifitas warga dan
orang luar. Ketika ada serangan lanun, pintu itu ditutup dan warga berusaha
mempertahankan diri. Pemukiman penduduk di daerah perbukitan (dera )
tersebar di Kangajen Dera , Torjek Dera , Temor Jengjeng Dera ,
Cangkramaan, Deandung (Bustami 2001).
Kemudian, pemukiman penduduk terdapat di wilayah
pesisir dihuni oleh lanun. Wilayah pesisir itu bagi lanun berfungsi
sebagai pengisi bahan bakar perahu, bahan makanan (feeder points), dan
penyimpanan hasil bajakan lanun. Pemukiman di wilayah pesisir ini saat
itu dihuni oleh keturunan lanun dari hasil kawin mawin dengan perempuan
di kawasan itudan dari berbagai wilayah yang telah ditaklukkan. Menurut
informan, R. Imran, 70 tahun, desa Angon-Angon menyatakan bahwa dialek orang
pesisir di Kangean itu kasar karena keturunan lanun bahkan di wilayah
itu terdapat nama Pulau Pagerungan yang berasal dari Pegarongan. Banyak orang
Kangean yang ditangkap oleh lanun dan dijadikan budak termasuk di
antaranya Untung Surapati.
Pernyataan itu bila dibandingkan dengan sumber Belanda
tidak seluruhnya benar karena dialek yang kasar dalamkonteks wilayah tersebut
tidak selalu berhubungan dengan keberadaan lanunsemata melainkan Kangean
dijadikan sebagai wilayah pembuangandan penjara bagi para penjahat dan
lawan-lawan politik pada masa penjajahanBelanda (Farjon 1980). Konstruksi ini
sampai saat ini terasa, yaitustigma sosial terhadap Pulau Kangean. Setiap
pejabat yang diangkat diKangean dianggap dibuang. Orang Kangean dikonstruksi lebih
rendah dandinyatakan sebagai orang pulau (oreng polo) dan mereka
menyebut orangdari daratan (dereden) sebagai orang kota (oreng kotta)
dan orang negara(oreng nagera). Keberadaan Untung Surapati sebagai
mantan budak merupakanfakta sejarah tetapi.dari mana dia berasal menimbulkan
silang pendapat.
Strategi Menaklukkan Lanun
Masyarakat Kangean mempunyai strategi untuk
mengalahkan lanundengan cara membuat kue lanun (jejen lanun) yang
berwarna hitam yang terbuat dari bahan-bahan ketan (palotan), parutan kelapa
(parodenna nyiong)dan gula jawa (gule jebe). Proses pembuatannya
dengan cara ketandicampur dengan abu sisa pembakaran batang padi, disaring
digunakan sebagai zat pewarna ketan sehingga berwarna hitam. Kemudian,
dibungkusdaun pisang muda, dan dikukus sampai keras. Cara menyajikannya dengan
cara, gulungan ketan yang berwarna hitam yang telah masakdiiris-iris, di atas
irisan-irisan itu ditabur parutan kelapa, dan diberi cairangula jawa.
Penyelesaian dengan menciptakan makanan ini mempunyaimakna simbolik, yaitu
keberanian untuk melawan kejahatan lanun.
Makanan (jejen lanun) pada dasarnya menyatakan
secara simbolis, yaitu solidaritas kelompok (Foster dan Anderson 1978:
268-271). Orang Kangean menyatakan solidaritas kelompok untuk melawan kejahatan
lanun secara simbolis melalui jejen
lanun.
Saat ini, simbol lanun mengalami pergeseran,
yaitu dari lanun sebagai bajak laut menjadi orang-orang yang melakukan
tindakan kekerasan yang tergolong kriminal. Tindakan kekerasan terjadi karena
adanya interaksi sosial antarpenduduk yang menimbulkan pelecehan terhadap harga
diri. Tindakan kekerasan ini menimbulkan konflik. Kuantitas dan kualitas
konflik cenderung menguat di kampung pesisir, yang dihubungkan dengan asal usul
penduduk yang merupakan keturunan lanun. Di sisi lain, letak kampung
pesisir yang berada di jalur transportasi menjadikan para pengguna jalan ketika
masuk wilayah ini memilih dahulukan selamat dengan cara hati-hati, mengendarai
kendaraan pelan-pelan, tidak membunyikan klakson keras-keras, dan memberikan
kesempatan pada penyeberang jalan yang sering menyeberang mendadak. Kesalahan
dengan menabrak penyeberang apapun alasannya yang disalahkan adalah pengendara.
Perlakuan terhadap pengendara yang melanggar tidak sebanding dengan kuantitas
kesalahan bahkan terjadi konflik antardesa yang menimbulkan korban jiwa.
Konflik itu bermula pada kepentingan perseorangan yang berkembang menjadi
konflik antarkerabat dan ujung-ujungnya adalah konflik antar desa, seperti yang
terjadi antara desa De andung dan Kangajen.
Meluasnya medan konflik berhubungan dengan solidaritas
mekanis dan adanya institusi malo (pelecehan terhadap harga diri). Pembelaan
dan usaha mempertahankan diri sering yang dijadikan pilihan adalah carok.
Carok memunculkan repro-duksi kekerasan, balas dendam yang
berkepanjangan.Penyelesaian konflik yang lain dilakukan melalui tokoh-tokoh
lokal, aparat negara, instiusi keislaman, dan jaringan kekerabatan. Saat ini,
orang Kangean telah mengalami perubahan kebudayaan.
Perubahan kebudayaan berhubungan dengan migrasi
internasional, kebudayaankonsumen melalui mekanisme, integrasi dan ekspansi
pasar luar negeri (embeng-barang bekas impor) yang dimantapkan dengan
media televisi dengan antena parabola, institusi pendidikan dan ritual
pembangunan lainnya, perkawinan lintas budaya, orang Kangean munculmenjadi
pengusaha yang menguasai aset-aset di kota Sumenep sehingga menuju pada pemantapan
ideologi multikulturalisme. Ideologi multikulturalisme di Kangean bukan sekedar
berbicara kesetaraan jender melainkan pentingnya penghargaan terhadap manusia
sejati tanpa batas-batas jenis kelamin, agama, jenis pekerjaan, aliran
keagamaan, dan status sosial. Kontekstualisasi ideologi multikulturalisme di
Kangean sedang berprosesmenuju kehidupan yang diidealisasikan.
KESIMPULAN
Cerita lanun yang tersebar di kalangan orang
Kangean merpresentasikanrespon kehidupan mereka. Cerita itu diwariskan secara
turun temurunmelalui lisan dan sebagian lisan. Cerita itu termasuk jenis
folklor lisanyang berbeda dengan mite, legenda, dan dongeng karena cerita itu
tidaksakral dan realistis. Cerita lanun di kawasan Pulau Kangean sesuai
denganinformasi dari sumber sejarah kolonial. Cerita Cerita lanun menjelaskantentang
sejarah pemukiman masyarakat dan relasi kuasa dengan kekuatanpolitik, ekonomi,
dan kebudayaan orang Kangean dengan masyarakat dari berbagai kawasan dalam
jaringan dunia serta terjadinya integrasi di kawasan tersebut. Orang Kangean
telah berinteraksi dengan kekuatan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan
masyarakat di kawasan lainnya dalam kawasan yang meluas dan mengglobal dalam
jaringan sistem lanun dunia.
Dengan sendirinya pemberian label lokal pada orang
Kangean harus dikaji ulang.masyarakat Orang Kangean mempunyai strategi untuk
mengalahkan lanun dengan cara membuat kue lanun (jejen lanun).
Makanan ini mempunyai dua makna, yaitu realitas dan simbolik. Strategi
adaptasi simbolikini berpotensi menciptakan integrasi sosial. Cerita lanun yang
tersebar pada orang Kangean setelah melalui kritik sumber sejarah, intern dan
ekstern ternyata bisa dijadikan sebagai salah satu sumber sejarah kawasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar